Epistemologi

Kesalahan-Kesalahan Berpikir
 
 


1. Fallacy of Dramatic Instance berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisatuon. Yaitu, penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Seringkali kesimpulan itu merujuk pada pengalaman pribadi seseorang.

Contoh dari kesalahan berpikir ini adalah sekarang banyak orang miskin di Indonesia. Berdasarkan kenyataan ini, muncul teori bahwa kemiskinan disebabkan oleh struktur ekonomi yang timpang. Lalu ketimpangan ini lantas disebut sebagai teori ‘kemiskinan struktural’.

Namun teori ini dibantah oleh contoh lain. Seorang buruh dengan penghasilan kecil namun punya semangat kewirausahaan tinggi, tekun, dan tabah, akhirnya menjadi pengusaha rokok yang besar. Artinya, setiap orang yang mau tekun bekerja keras seperti pengusaha rokok itu, pasti akan menjadi pengusaha besar atau konglomerat.

Itulah akibat dari over-generalisatuon dari sebuah pengalaman pribadi terhadap kasus-kasus yang lebih luas cakupannya.


2. Fallacy of Retrospective Determinism atau dapat dijelaskan sebagai kebiasaan masyarakat yang menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Cara berpikir nin selalu mengacu pada “kembali ke belakang” atau “historis”. Atau secara jelasnya disebutkan sebagai upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan dalam sejarah masa lalu.

Contohnya adalah kemiskinan. Orang menganggap bahwa kemiskinan adalah bagian dari isi sejarah. Dari dulu ada orang kaya dan miskin. Mengapa orang sekarang harus meributkan pemberantassan kemiskinan. Padahal kemiskinan tidak bisa diberantas, karena sudah ada sejak dulu.

3. Post Hoc Ergo Propter Hoc atau sesudah itu- karena itu- oleh sebab itu. Bila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka dapat dinyatakan bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua.

Sebagai contoh, ada orang tua yang lebih cinta pada seorang anaknya dibanding anaknya yang lain hanya karena ia kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi stabil setelah mendapat anak kesayangannya itu.

4. Fallacy of Misplaced Concretness adalah kesalahan berpikir yang muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang sebenarnya adalah abstrak. Atau dapat dikatakan sebagai menganggap real seuatu yang sebetulnya hanya ada dalam pikiran kita.

5. Argumentum ad Verecundiam ialah berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu.

Ada beberapa orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri. Misalnya dari suatu peristiwa dalam perjalanan Nabi, ia bermaksud membenarkan paham dan kepentingannya sendiri. Padahal peristiwa tersebut belum tentu relevan dengan masalah atau tema yang sedang diperbincangkan.

6. Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang.

Sebagai contoh, di suatu kampung ada yang memelihara ayam. Ayam petelur negeri itu berhasil mendatangkan uang banyak bagi pemiliknya. Melihat itu, dengan serta-merta penduduk kampung menjual sawahnya untuk dijadikan modal bisnis ayam petelur. Akibatnya, semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan dan membanjirnya pasokan barang.

7. Circular Reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar, menggunakan kesimpulan untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju kesimpulan semula.